Dinamika Fiqih – Fiqih, sebagai cabang ilmu Islam yang mengatur tata cara hidup umat, memiliki kaidah-kaidah yang membuatnya terus menerus hidup, dinamis, dan solutif menyertai peradaban manusia. Salah satu kaidah penting yang perlu diperhatikan adalah “الفتاوى تتغير بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والأعراف” yang artinya “Fatwa hukum itu bisa berubah disebabkan perubahan zaman, situasi-kondisi, suasana hati (psikologis), dan tradisi.”
Mengapa kaidah ini begitu menarik? Karena kaidah tersebut membuka pintu untuk pemahaman bahwa fatwa atau hukum Islam dapat berubah seiring dengan perubahan zaman dan kondisi psikologis masyarakat. Kita dapat memahami konsep ini dengan merinci beberapa contoh yang diberikan dalam hadis dan pengalaman sehari-hari.
Salah satu contoh yang mencerahkan adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang mengisahkan seorang pemuda dan seorang tua yang mengajukan pertanyaan tentang boleh tidaknya mencium istri saat berpuasa. Nabi menjawab dengan tidak boleh untuk pemuda dan boleh untuk orang tua. Keputusan ini disertai dengan penjelasan bahwa Nabi mengetahui bahwa kakek tersebut lebih mampu menguasai dirinya.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa perbedaan dalam keputusan bukanlah semata-mata tentang perubahan aturan, tetapi juga tentang pemahaman bahwa setiap individu memiliki kapasitas yang berbeda dalam mengendalikan diri. Ini mencerminkan pandangan yang sangat sensitif terhadap kondisi psikologis seseorang dalam memberikan fatwa.
Dalam kaitannya dengan perbedaan jawaban atas pertanyaan yang sama, Nabi Muhammad SAW seringkali memberikan jawaban yang berbeda-beda kepada umatnya. Ini tercermin dalam nasihat dan wasiat yang beliau berikan. Pada satu kesempatan, Nabi menyarankan untuk tidak marah, pada kesempatan lain, Nabi menekankan pentingnya mempertahankan iman kepada Allah dan beristiqamah. Jawaban yang berbeda ini tidak menunjukkan ketidakkonsistenan, melainkan penyesuaian dengan keadaan jiwa dan situasi yang dihadapi oleh penanya.
Pendekatan Nabi ini memperlihatkan bahwa dalam berfiqih, tidak hanya melibatkan pemahaman terhadap hukum-hukum pokok, tetapi juga memerlukan pemahaman mendalam terhadap kondisi psikologis dan situasi umat. Keadilan dalam memberikan fatwa bukan hanya tentang keadilan dalam hukum itu sendiri, tetapi juga keadilan dalam memahami kondisi setiap individu dan umat secara keseluruhan.
Hal ini membawa kita pada suatu pemahaman bahwa fiqih yang benar bukanlah sekadar memahami pokok hukum saja. Orang yang berpendapat bahwa fiqih hanya mengenai pokoknya saja, biasanya karena dia hanya memiliki satu sudut pandang atau satu madzhab saja. Oleh karena itu, penting bagi para ulama untuk memiliki pemahaman yang luas terhadap berbagai madzhab dan pendapat agar dapat memberikan fatwa yang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat.
Seiring dengan perkembangan zaman, khususnya dalam era teknologi dan globalisasi seperti saat ini, penting bagi umat Islam untuk memiliki pandangan fiqih yang inklusif dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Oleh karena itu, penggunaan kaidah “Fatwa hukum itu bisa berubah disebabkan perubahan zaman, situasi-kondisi, suasana hati (psikologis), dan tradisi” menjadi semakin relevan dalam membimbing umat menuju pemahaman agama yang sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan modern.
Dengan demikian, penting bagi para ulama, pemuka agama, dan umat Islam pada umumnya untuk merenungkan kembali kaidah ini dan bagaimana mereka dapat mengaplikasikannya dengan bijak dalam menjawab tantangan-tantangan zaman yang terus berkembang. FiQih yang hidup, dinamis, dan solutif adalah kunci untuk menjaga relevansi agama dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.