Perjuangan Kiai Hasyim – KH Muhammad Hasyim Asy’ari, ulama pejuang yang menjadi pilar pergerakan santri dalam meraih kemerdekaan Indonesia, kembali mencuat dalam kenangan kita. Sebagai pengasuh pesantren dan pemimpin spiritual, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda melalui fatwa-fatwa perlawanan yang menggetarkan.
Salah satu fatwa terkenal adalah larangan bagi kaum Muslim bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun, serta wajibnya melawan dan merebut kemerdekaan. Fatwa ini memberikan semangat perlawanan kepada santri dan warga pesantren, yang tidak hanya berhenti pada perlawanan kultural, tetapi berkembang menjadi perlawanan bersenjata.
Seiring berjalannya waktu, perjuangan melawan penjajah Belanda mengalami transformasi, dari perlawanan kultural menjadi perlawanan bersenjata. Santri dan warga pesantren, termasuk kalangan perempuan di dalam organisasi Muslimat NU, ikut angkat senjata dalam semangat jihad fi sabilillah.
Di tengah perang, para kiai tetap memperkuat riyadhoh rohaniyah dengan bacaan doa, wirid, dan hizib. Meskipun senjata fisik digunakan, kekuatan rohani tetap diutamakan, meyakini bahwa kekuatan sejati berasal dari Allah.
Buku memoar dan catatan sejarah menyuguhkan momen-momen bersejarah, seperti ketika KH Hasyim Asy’ari dipenjara dan mengalami siksaan dari tentara Jepang. Meski disiksa, beliau tetap kokoh dalam iman, menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an dan kitab hadits Al-Bukhari. Keberanian dan keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya, membuktikan bahwa kekuatan iman dapat mengalahkan segala bentuk penindasan.
Dalam perjalanan sejarah perlawanan, tak hanya senjata konvensional yang digunakan, tapi juga senjata gaib seperti bambu runcing yang diberkahi dengan doa-doa khusus. Kiai Haji Subchi dari Parakan, Magelang, dikenal sebagai Kiai Bambu Runcing.
Ratusan bahkan ribuan tentara sabil membanjiri rumahnya untuk menyepuh bambu runcing dengan doa. Kiai Subchi, yang pada saat itu berusia sekitar 90 tahun, memberikan doa khusus yang dianggap memiliki kekuatan spiritual untuk menguatkan hati dan semangat perlawanan.
Perjuangan melibatkan berbagai unsur masyarakat, termasuk kiai-kiai dari berbagai daerah. Pada suatu pertemuan di Magelang, ulama-ulama membaca aurad dan melakukan riyadhoh ruhaniyah untuk menghadapi situasi genting. Doa-doa seperti Hizbur Rifa’i, Hizbul-Bahr, Hizbun Nashr, dan Hizbun Nawawi dipraktikkan, menunjukkan bahwa kekuatan rohani menjadi pendamping perjuangan fisik.
Pertempuran di Magelang dan sekitarnya menjadi bukti bahwa keberanian dan kekuatan spiritual dapat mengusir penjajah. Kisah mengenai wirid Shalawat Nariyah yang dilakukan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam kondisi genting mencerminkan kekuatan doa dalam menghadapi ancaman bahaya. Sebuah wirid yang membawa kiai tersebut keluar dari bahaya dan menjadikan doa sebagai tameng dalam perjalanan hidupnya.
Sebagai penerus perjuangan para ulama dan santri, kita dapat mengambil inspirasi dari sejarah ini. Perpaduan antara keberanian dalam berperang dan kekuatan rohani merupakan fondasi yang kokoh dalam meraih kemerdekaan. Dalam menghadapi tantangan zaman, menggali kembali nilai-nilai keimanan, keberanian, dan kesatuan menjadi kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik.